Sedikit latar belakang, sekarang gw tinggal di Bukit Jalil, dekat stadion yang waktu itu digunakan untuk pertandingan bola Indonesia vs Malaysia. Ini adalah tempat "kost" gw yang keempat selama bekerja di Malaysia, dan lingkungan sekitar masing-masing tempat kost sangat berbeda. Gw akan membandingkan dengan kondisi di Jakarta,
Tempat tinggal pertama: Shah Alam.
Shah Alam bagaikan Cikarang—jauh dari ibu kota dan relatif jarang penduduknya. Waktu pertama tiba di Malaysia, gw ga punya duit (sekarang juga ga punya sih, hehe). Untungnya ada teman SMP yang tinggal disini, jadi selama sebulan pertama gw menumpang di kondo dia di Shah Alam.
Pengalaman dari tinggal di Shah Alam:
- Beberapa perusahaan besar di Malaysia mempunyai call center untuk penggunanya yang ber-Bahasa Indonesia. Teman gw dan teman-temannya bekerja di DiGi ("Indosat-nya Malaysia," populer di kalangan anak muda karena murah). Mereka pekerja outsource dan mendapat akomodasi tempat tinggal (satu kondo bertiga) dan bis karyawan. Karena mereka bekerja shift, bisnya datang setiap jam.
- Tidak ada alasan untuk tinggal di Shah Alam kalau kamu bekerja di Kuala Lumpur, kecuali punya kendaraan sendiri dan rela menghabiskan waktu di jalan. Teman gw punya mobil dan kantornya di Shah Alam juga.
- Transportasi massal berbasis rel di Kuala Lumpur ada tiga: monorail, KTM dan LRT. KTM hampir sama dengan KRL AC ekonomi(?) di Jakarta—sama-sama ga tepat waktu dan lambat.
- Tiket dapat dibeli di konter atau mesin (tapi kebanyakan mesinnya rusak, hehe), atau pakai kartu Touch N Go (kartu debit).
- Di Indonesia, kamu bisa berdiri di pinggir jalan dimana saja (termasuk di gang!), pasti ada angkutan umum yang lewat. Disini kamu bisa berdiri di pinggir jalan besar dan ga melihat satu pun bis lewat.
- Disini ga ada ojek, bajaj, omprengan atau angkot (minibus). Selain transportasi berbasis rel, hanya ada bis dan taksi.
- Di bis ga ada kenek, hanya ada sopir yang sekalian mengurus pembayaran. Kamu harus membayar tunai atau dengan kartu saat masuk. Suara rekaman akan memberitahu kamu sudah sampai mana.
- Kalau naik bis, kamu umumnya harus berhenti di halte, ga boleh di sembarang tempat.
- Taksi disini sangat pemilih. Sedikit macet ga mau, padahal kan tetap dibayar!
- Di beberapa tempat (terutama daerah turis dan tempat clubbing), taksi ga mau pakai argo ("meter") atau minta tambahan, misalnya +RM2 (~Rp6 ribu).
- Di bandara dan KL Sentral ("Blok M"-nya Kuala Lupur), kamu bisa bayar taksi dengan tiket. Datang ke konter, kasih tau mau kemana, bayar sesuai jarak. Ga perlu takut dibawa muter-muter atau tawar-menawar.
- Taksi disini jauh lebih jelek dibandingkan di Jakarta.
- Naik taksi disini cenderung lebih murah, mungkin karena tidak begitu macet dan tidak perlu memberi tip.
- Jalan raya di Malaysia lebih lebar.
- Jalanan disini umumnya hanya macet sebelum dan sesudah jam kerja, tapi macetnya tetap lebih "masuk akal" dibandingkan dengan di Jakarta.
- Beberapa jalan tol dipasangi speed trap—kamera yang menangkap kalau kamu terlalu ngebut.
- Di Jakarta, orang suka seenaknya menyeberang jalan sementara mobil/motor harus mengalah (mungkin takut dibakar massa kalau menabrak orang, hehe). Disini sebaliknya.
- Di Kuala Lumpur, mobil lebih banyak dari motor.
- Motor boleh masuk tol tanpa membayar.
- Kadang disediakan jalur khusus untuk motor.
- Tidak ada yang mau naik motor kecuali terpaksa. Pedagang kaki lima dan penjual DVD bajakan di emperan jalan pun naik mobil.
- Alasan orang-orang disini punya mobil karena transportasi umum sangat minim. Secara kualitas Malaysia menang, secara kuantitas Indonesia jauh lebih baik (terlalu banyak malah, jadi macet).
- Orang Malaysia sedikit lebih teratur dalam mengantri, termasuk di lampu merah (untuk hal ini, pengemudi mobil lebih patuh dibanding pejalan kaki).
- Disini ga ada tukang parkir, apalagi "pak ogah".