Friday, October 30, 2009

Keluar dari zona aman

Di status Facebook gw pernah menulis bahwa Stardust adalah salah satu film favorit gw. Selain Stardust, gw juga suka Jumper, trilogi Bourne dan trilogi Lord of The Rings. Apa yang menjadikan mereka favorit gw? Mereka film petualangan. Tapi lebih dari itu, mereka mengajarkan gw untuk berani keluar dari zona aman untuk meraih sukses.

Keluar dari zona aman. Kadang istilah ini harus diartikan secara harafiah: keluar dari tempat kita biasa tinggal. Gw pernah baca di suatu buku, "Bagaimana cara menjadi sukses? Pergilah merantau."

Semua presiden kita bukan orang Jakarta namun mereka bekerja di Jakarta. Mantan Gubernur Sutiyoso pun ga lahir di Jakarta. Kedua orang tua gw bukan orang Jakarta, namun mereka bisa membeli rumah setelah bekerja di Jakarta. Gw yakin banyak pembaca blog gw yang orang tuanya ga dari Jakarta, tapi bekerja di Jakarta. Kebanyakan menjadi sukses, paling ga lebih baik dibanding kondisi sebelumnya. Lalu kemana orang-orang kelahiran Jakarta seperti gw harus pergi agar sukses?

Waktu kecil gw bercita-cita menjadi astronot, gw ingin menjelajahi alam semesta. Saat sekolah gw ingin menjadi diplomat, gw ingin menjelajahi dunia. Eh kok kuliahnya jurusan IT, akhirnya mentok menjelajahi kompleks perumahan :) Memang cinta (terhadap komputer) membutakan segalanya :D

Gw ingin seperti Tristan Thorn dalam Stardust yang mengelilingi dunia dan kembali sukses. Awalnya memang "terpaksa", tapi ujung-ujungnya membahagiakan. Bertemu banyak orang, mendapat banyak pengalaman... dan menemukan cinta? Mungkin yang terakhir ga perlu. Gw masih memilih cewek sebangsa untuk urusan itu. Mungkin seseorang seperti 7 di film 9 :)


Wednesday, October 28, 2009

Hari Pemuda. Lalu?

Apa saja aktivitasmu di Hari Pemuda ini? Kalau gw, bangun kesiangan, mampir ke website bokep, membantu teman menyusun skripsi, melanjutkan coding sebuah project kecil, membalas beberapa email dan mengirim invoice. Yeah, so lame. Semoga aktivitas kalian lebih baik.

Gw membayangkan, 81 tahun yang lalu pemuda-pemudi sebaya gw sibuk mengadakan rapat akbar. Mereka dengan semangat mengumandangkan Sumpah Pemuda. Sementara disini gw bingung apakah Sumpah Pocong masih diputar di bioskop.

Nasionalisme. Kata yang usang. Menjadi usang karena banyak orang yang skeptis terhadap negeri ini. Menjadi semakin usang pula karena mereka yang diskeptisi (halo pejabat!) pura-pura ga sadar dirinya diskeptisi.

Ambil contoh kasus KPK. Kalau mau jujur, mayoritas penduduk Indonesia mendukung banget keberadaan dan operasi lembaga negara itu. Sisanya yang ga mendukung karena ga peduli, ga tau atau familinya (atau dia sendiri!) beresiko dijaring KPK. Kalau semua manusia baik mendukung pemusnahan korupsi dari negeri tercinta ini, mengapa membiarkan KPK dijadikan bual-bualan? Mungkin karena ga semua manusia baik :)

Awalnya gw sangat antusias mengikuti sepak terjang KPK. Setiap membaca KOMPAS, pasti gw cari kisah KPK yang menangkap anu dan anu. Mirip film action Hollywood. Tapi sekarang? Film Bollywood jadul yang orang-orangnya item dan berbulu aja masih lebih enak dilihat.

To be honest, my faith for a better nation is starting to diminish. Gw ga tau harus percaya siapa lagi dalam perang David melawan Goliath ini. I'm skeptical. Dan biasanya lama-lama akan muncul ignorance.

Hmm.. tapi gw akan membiarkan sebuah lilin kecil menyala di sudut hati gw. Just in case. Berharap baik boleh kan? :)

Cowok harus tau jalan

Semua orang yang kenal gw dengan baik pasti tau gw orang rumahan. "Ngapain keluar kalau bisa pacaran di rumah?" "Ngapain kerja kantoran kalau bisa kerja di rumah?" "Ngapain ke toko buku kalau ada Google (yang bisa dibuka dari rumah)?"

Bahkan kalau terpaksa keluar, gw lebih memilih naik kendaraan umum. Ga perlu merayu mama untuk pinjam mobil, ga perlu keluar seratus ribu untuk bensin, bisa tidur pula! Sikap gw tentu membuat cewek agak ilfil saat dating sama gw. Entah kenapa mereka lebih memilih diantar-jemput, padahal biasanya juga bisa pergi sendiri (entah dengan kendaraan umum atau kendaraan pribadi)! Dasar cewek.

Untungnya gw agak autis. Kalo mereka ogah pergi ya wis. Jadi bisa santai dirumah kan :D Tapi kadang gw benar-benar harus pergi bawa kendaraan. Dan saat itu biasanya gw kelabakan: gw ga hapal jalan dan ga pakai kacamata sehingga marka jalan sering ga kelihatan!

Gw pernah nunggu lampu merah hampir sepuluh menit, dan baru sadar ternyata memang ga boleh belok (tulisannya ga terbaca). Gw juga sering nelpon rumah/teman hanya untuk bertanya, "Depan gw ada belokan itu kemana ya?" Paling bodohnya, gw pernah berhenti di tengah jalan bypass karena ragu-ragu, "Yang masuk tol sebelah kiri atau kanan ya?"

Tapi yang membuat gw kapok adalah kejadian hari ini. Pulang dari London School gw membawa mobil dengan indikator bensin sudah ke E (Empty). Karena saat itu Three-in-One, gw harus lewat rute Karet-Casablanca untuk ke Bekasi. Guess what, ternyata ga ada pom bensin selama di jalan! Terpaksa gw matiin AC, padahal lumayan macet. Keringetan, deg-degan takut mogok. Benar-benar Fear Factor (dan bodoh). Untungnya jauuuh kemudian di Cipinang ada pom bensin. Selesai isi bensin gw langsung setel AC paling dingin sambil nyanyi-nyanyi (setelah itu gw kebelet pipis karena kedinginan).

Ternyata kata teman gw, pom bensinnya sebenarnya ada, tapi harus keluar rute sedikit. Coba kalau gw tau jalan, ga perlu konyol seperti tadi.

Pesan moral: Kalau melihat gw naik mobil dan ga pakai kacamata, jangan dekat-dekat.

Tuesday, October 27, 2009

Mamaku mengajarkanku tentang cewek dan kehidupan

Lebih tepatnya: Mamaku mengajarkanku bagaimana memahami wanita dan kehidupan, tapi ga secara langsung. Begini ceritanya.

Mama gw adalah mama yang cerewet. SANGAT cerewet. Belum lagi keras kepala, udah salah tetep ngotot. Suka "bohong demi kebaikan" juga, khususnya soal makanan. Seperti bilang sayurnya enak padahal rasanya pahit (tapi memang sehat). Mama gw juga payah soal keuangan. Beliau ga mau ribet. Akibatnya gw yang sekarang pencari nafkah utama sering kebakaran jenggot karena penggunaan duit "negara" ga sesuai APBN.

Ketika gw mengadu ke papa, beliau dengan bijaknya berkata, "Kalau kamu bisa mengatasi mama, kamu bakal jadi orang sukses." Ya iya lah, cobaan yang gw terima lebih dasyat dari gemblengan Kawah Candradimuka!

Tapi papa benar juga. Lama-lama gw mulai ga stres. Apakah karena mama berhenti cerewet? Tentu tidak :) Tapi gw mulai mengikuti ritme mama, semua dibawa enak (baca: cuek). Herannya, seiring dengan semakin sabarnya gw, "panca indra" gw terhadap cewek juga meningkat. Susah dijelaskan, tapi intinya cewek macam apa pun yang berinteraksi dengan gw, gw langsung tau, "Dia seperti ini. Cara berkomunikasi yang efektif dengan dia adalah begini." Tentu gw menggunakan kelebihan ini untuk tujuan baik :P

Apa tipsnya? Gw sering kebawa emosi juga kok. Tapi gw segera ingat I truly love this old lady and her actions are sincere. Biasanya langsung reda. Tapi ga jarang juga gw ikutan teriak, saat itu artinya perang dunia :D

Jadi, lain kali, kalau mama kalian cerewet, anggap aja sedang nonton sinetron :)

Anak-anak pembersih kuburan

Beberapa hari yang lalu gw dan orang tua nyekar ke makam oma dan opa, lumayan dekat rumah. Seperti biasa, begitu kami mendekat ke makam, anak-anak yang sedang nongkrong dekat situ langsung rajin mendadak berusaha membersihkan makam oma+opa (mereka sepiring berdua, eh, semakam). Seperti biasa pula, mama langsung 'mengusir' mereka (hehe). Tapi melihat makam yang agak berantakan, papa akhirnya membiarkan mereka membersihkan.

Disinilah menariknya. Ada seorang anak yang sungguh-sungguh merapikan rumput. Ada anak yang merapikan tapi pakai gunting kertas (WTF???). Ada anak yang keliatannya bersemangat tapi ga ada ide mau ngapain. Ada anak yang sekedar pelengkap penderita alias pura-pura sibuk. Ada juga yang pura-pura menggunting tapi matanya melirik tangan gw yang sedang menghitung uang (untuk dikasih ke mereka).

Papa gw jelas mengomel (tapi bukan ke mereka). "Lihat tuh yang matanya ngeliatin uang. Kerja belum benar sudah menunggu dibayar. Gimana nanti kalau sudah gede." Sementara itu papa memuji (masih ngobrol ke gw) si anak yang sungguh-sungguh bekerja.

Bagaimana upah mereka? Awalnya gw ingin membagi rata, namun akhirnya gw kasih semua ke anak rajin itu (kebetulan dia paling besar), "Ini untuk kalian. Kamu yang bagi. Terserah kamu mau kasih berapa teman-temanmu. Kamu ga kasih juga gapapa, toh yang kerja kamu."

Di dalam mobil, papa bilang, "Lain kali kita pakai yang rajin itu aja."

Moral ceritanya cukup jelas kan?

Looking for my geek side?