Untuk entah keberapa kalinya, speaker TEAC kiri gw rusak. Mungkin harus benar-benar dipensiunkan. Mereka lebih tua dari gw. Agak sayang, terus terang, speaker box 35x55x24cm itu dalam kondisi baik suaranya masih sangat bagus dan jernih. Lagipula mereka klasik.
Jadilah hari ini gw mengetik tanpa ditemani musik. Sepi. Begitu berpengaruhnyakah musik pada kehidupan manusia? Atau hanya gw?
Kadang gw suka menyetel suatu lagu baru (dalam artian “baru gw tahu”, belum tentu—dan sering malah bukan—new release) berulang-ulang, dan rasanya tidak pernah bosan mendengarkannya. Namun beberapa minggu kemudian, ketika gw mendapati lagu lain dimana gw kemudian menyetelnya berulang-ulang juga, lagu “favorit” sebelumnya tiba-tiba menjadi “sangat tidak menarik”. Merasa déjà vu?
Kadang juga, gw mengalami love at first hearing (bukan sight) kepada lagu yang menurut teman-teman gw, “banci”. Seperti cinta terlarang, gw mendengarkannya secara diam-diam, takut dicemooh teman. Dianggap tidak maskulin, dianggap “cemen”. Tapi untung saja, sejauh ini maskulinitas gw tidak tepengaruh dengan lagu-lagu semacam itu (dan sejujurnya, gw belum pernah dengar ada yang bisa begitu).
Namun gw bukan seorang radio head sejati. Gw tidak peduli lagu yang gw dengar itu fresh atau basi, selama “masuk” di telinga (at a given moment), gw tidak mempermasalahkannya. Gw bahkan tidak punya radio. Dan kepala gw juga masih bulat, tidak persegi seperti kebanyakan bentuk radio.
Sebelumnya gw sok purist. Gw hanya “beraliran” musik tertentu. Gw suka lagu yang instrumental—skill show off, seperti klasik atau jazz. Alasannya sederhana: gw tidak bisa nyanyi, gw hanya bisa (sedikit) bermain gitar. Ketika lagu itu dilantunkan, gw bisa turut mengiringi (meski “mengiringi” bukan kata yang tepat, karena ketika musik berhenti dan gw bermain sendiri, suara gitar gw lebih mirip seseorang tercekik daripada gitar yang dimainkan di lagu). Kini gw menyerahkan preferensi musik ke telinga dan hati gw. Mungkin juga karena gw makin jarang bermain gitar.
Dan, ngomong-ngomong soal preferensi musik, gw masih berpikir dangdut itu dinikmati karena “visualisasinya”. Gw tidak bermaksud memulai perdebatan halal tidaknya goyangan Inul cs (dan gw tidak peduli. Toh gw hanya menonton mereka sekilas—gw memang tidak pernah lama di depan TV), gw hanya bingung dimana letak nikmat dangdut ketika didengar dari radio, dimana “kelebihannya”? Hey, sebagai pria sejati gw mengharapkan lebih!
Hmm.. berbicara tentang goyangan/tarian.. gw akan sangat beruntung menemukan pacar yang mau menari di depan gw, secara eksplisit berusaha menggoda gw. Sejauh ini belum ada.
No comments:
Post a Comment