PERHATIAN: Isi blog ini murni opini dan mungkin bertentangan dengan konsep/keyakinan yang Anda anut.
Selama ini batin gw mempertentangkan salah satu kemampuan papa dalam kapasitasnya sebagai penghayat—memanggil arwah. Bukannya gw ga percaya, tapi konsep yang gw anut berlawanan.
Beberapa tahun lalu gw pernah membaca buku tentang arwah. Disitu diceritakan bahwa orang yang baru meninggal ga langsung ke “surga atau neraka”, namun di “dunia tengah-tengah” (kecuali mereka benar-benar suci atau benar-benar bedebah, dimana mereka akan straight to heaven or to hell, respectively). Di dunia itulah mereka dibersihkan sehingga layak menghadap Sang Pencipta.
Di buku itu dikatakan, semua orang di “dunia tengah” pada akhirnya akan masuk surga, namun seberapa cepat mereka kesana sangat tergantung dari deeds (baik dan buruk) yang mereka lakukan semasa hidup dan doa dari mereka yang masih hidup. Ini menjelaskan kenapa kita sangat diharapkan untuk berdoa kepada leluhur.
Doa kita sebenarnya untuk membantu mereka, bukan sebaliknya. Dengan kata lain, kurang tepat kalau kita minta tolong kepada arwah. Mintalah kepada Sang Pecipta—Beliau yang menciptakan arwah yang kita mintai tolong. Kalaupun mau minta tolong, menurut gw mintalah agar permohonan kita dibantu disampaikan ke Sang Pecipta (secara “jarak” pun, leluhur kita lebih dekat dengan Beliau kan?).
Pembaca yang kritis akan menyerang gw dengan pernyataan, “Enak banget semua masuk surga. Kalau begitu gw santai-santai aja.” Memang ada konsep yang mengatakan di “dunia tengah” arwah bisa gagal dan bisa gugur. Kalau menurut gw itu aneh. Kenapa? Kriteria apa yang menentukan gagal/gugur? Amal perbuatan? Kalau begitu “dunia tengah” ga diperlukan. Begitu seseorang meninggal, langsung aja masuk surga/neraka (buat apa diperlama, toh sudah ketahuan hasilnya).
Lalu apakah dengan demikian kita bisa “bebas”? Menurut gw itu pikiran yang bodoh. Kalau bisa “curi start” (dengan berbuat baik sebanyak-banyaknya sewaktu masih hidup), kenapa ga kita lakukan? Seperti ayah dan ibu kita: Sebrengsek apapun kita masih tetap diaku anak, namun apakah kita mau begitu?
Kembali ke “dunia tengah”, arwah disitu bisa dipanggil oleh mereka yang masih hidup untuk dimintai bantuan. Ini mencederai mereka, karena sebenarnya mereka sedang “sibuk membersihkan diri”. Disinilah manusia yang masih hidup dinilai moralnya, apakah tahu diri untuk ga meng-abuse arwah (kalian ga mau diperlakukan demikian ketika nanti menjadi arwah kan?). Jangan lupa untuk mendoakan mereka.
Nah, setelah bersih dan masuk ke surga, ga ada siapapun di dunia yang sanggup memanggil arwah yang dimaksud. Logika yang sederhana, sekuat apa sih manusia sehingga mampu menyuruh penghuni surga untuk turun ke dunia?
Andai pun bisa, sang arwah sendiri juga ga berniat kembali ke dunia. Logika yang sederhana juga, kalau kita sudah ada di surga (tempat yang sempurna), buat apa repot-repot kembali ke dunia (tempat yang jauh dari sempurna). Ketika arwah meninggal, dia meninggalkan juga attachment-nya dengan dunianya: keluarga, harta, hutang, kejayaan, masalah dan sebagainya. Dia hanya akan fokus ke satu hal: bagaimana secepatnya kembali ke Sang Pencipta.
Disini letak perbedaan pendapat gw dengan papa. Papa pernah bilang bahwa semua arwah bisa dipanggil (secara implisit mengatakan, “termasuk yang di surga”). Gw ga setuju.
Namun tadi siang, saat kami ziarah ke makam kakek dan nenek (mereka dimakamkan di satu makam), papa berkata, “Papa ga bisa memanggil Engkong (kakek) lagi. Beliau sudah di tempat yang jauh. Beliau sudah sempurna.”
Gw senang mendengarnya. Bukan karena papa akhirnya mengakui konsep gw, tapi karena mendengar Engkong sudah nyaman di sana.
jika gua tuhan, gua gak akan menciptakan dunia tengah. konsep kesempatan kedua agak sedikit aneh di kehidupan setelah kematian. manusia akhirnya gak bisa total di saat hidupnya.
ReplyDeletewell, benar/tidaknya dunia tengah gw ga tau (never been there ^_^). *mungkin* itu menunjukkan sifat ke-Maha Pengasih-an :-)
ReplyDeleteartikel yang menarik, tp aq g setuju dgn adanya kesempatan kedua di dunia tengah. Dasar pemikiran kamu berpendapat kayak gitu apa?
ReplyDeleteKemampuan berpikir manusia terbatas, Tuhan pasti punya alasan knp sesuatu itu diciptakan, dan alasan itu pasti diungkapkan dalam firmanNya
bro, sebenernya gw ga bilang dunia tengah sebagai kesempatan kedua. yang namanya "kesempatan" pasti bisa jadi bisa engga (alias, bisa surga/neraka). gw justru bilang semua orang masuk surga :-D
ReplyDeleteanyway thanks for your comments bro..
kalo ga salah, di katolik, ini namanya "purgatory", alias "api penyucian". bahkan ada film ala Hollywood nya pula.
ReplyDeletetapi setau saya, topik ini masih diperdebatkan sih di antara umat katolik itu sendiri.
topik2 bagaimana setelah mati emang selalu menarik untuk didiskusikan, sayangnya ga ada yang bisa ditarik kesimpulan kecuali kalau ada orang yang pernah mati dan kembali hidup. hanya dari orang itu saja mungkin kita bisa bertanya. itu pun masih tergantung apa kita percaya ke dia apa nggak ;-)
interesting post nih, tumben ga ada bau2 java nya :-)
hehe iya sekali2 ke human interest :-D trims for your post bro..
ReplyDeleteWhat about reincarnation?
ReplyDeletesetuju dengan tidak hidup seenggak bebas-bebasnya... gw percaya reinkarnasi dan karma, dalam proses reinkarnasi, curi start berbuat baik adalah inti dari 'karma'
ReplyDeletetapi pas baca tulisannya, yang pertama kali kepikiran emang 'api penyucian'(refer 2 nis) yang gw tahu pas skul di recis sieh... hehe...
menurut gw, 'rasa sakit' di dunia adalah proses penyucian. kalau belum selesai...'rasa sakit' akan dialami di 'alam tengah', tapi di sini kita mutlak butuh doa orang yg hidup spy 'tidak tersiksa' atau 'menjadi tersucikan'. hehe...wild mind
ReplyDelete